Seorang siswa menyantap makanan saat uji coba program Makan Bergizi Gratis di SDN Sukasari 5, Kota Tangerang, Banten, Kamis (1/8/2024). ANTARA FOTO/SULTHONY HASANUDDIN
Indonesia sebagai salah satu negara anggota G20, kini dipandang sebagai negara dengan ekonomi berkembang yang memiliki prospek menjanjikan.
Namun di balik pencapaian tersebut, ada kenyataan kontras yang hingga kini masih membayangi, yakni sekitar 25 persen anak Indonesia tidak memiliki akses terhadap makanan.
“Apa gunanya Indonesia menjadi anggota G20, jika 25 persen anak-anak di negara ini tidak punya cukup makanan?,” ujar Presiden Prabowo Subianto saat hadir di Indonesia-Brazil Business Forum, di Rio de Janeiro, Brasil, pada 17 November lalu.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, populasi anak usia 0–19 tahun di Indonesia mencapai sekitar 88,7 juta jiwa. Artinya, lebih dari 22 juta anak hidup dalam kondisi ketidakcukupan pangan.
Situasi itu pun menempatkan Indonesia di urutan ke-77 dari total 127 negara di dunia dengan tingkat kerawanan pangan berkategori ‘sedang’ versi laporan terbaru Indeks Kelaparan Global yang diumumkan via laman Global Hunger Index.
Laporan tahunan yang diterbitkan oleh organisasi nonpemerintah dari Jerman, Welthungerhilfe, itu menempatkan Indonesia di posisi yang cukup serius dibandingkan anggota G20 lainnya.
Berdasarkan data tersebut, 7,2 persen populasi Indonesia kekurangan gizi, 26,8 persen anak mengalami stunting, 10 persen balita kekurangan gizi, dan 2,1 persen angka kematian balita dengan akumulasi skor 16,9.
Sebagai perbandingan, Afrika Selatan justru berada di posisi lebih baik dari Indonesia, menduduki peringkat ke-60 dengan skor 12,5. India berstatus tingkat kelaparan serius dengan skor 27,3, menduduki peringkat ke-105.
Belajar dari Brasil dan India
Pada kesempatan G20 di Brasil, Presiden menyatakan ketertarikannya mengadopsi pendekatan program pemberian makan gratis di Brasil untuk anak-anak sekolah di Indonesia.
Brasil dikenal menghadapi tantangan besar dalam mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Fome Zero atau Tanpa Kelaparan jadi program prioritas Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, yang terpilih pada 2003, untuk menjamin setiap warga Brasil bisa makan tiga kali sehari.
Meski awalnya menghadapi tantangan birokrasi dan kritik, Lula tetap mendorong implementasinya dengan menunjuk pakar pertanian, José Graziano da Silva, untuk memimpin program tersebut.
Pemerintah setempat memproduksi pangan sehat sendiri, mendukung petani lokal untuk memproduksi nasi, telur, daging, sayuran, hingga buah, serta memastikan akses kredit serta bantuan teknis permodalan.
Hasilnya, angka kelaparan di Brasil menurun drastis. Pada tahun 2003, 12 persen populasi Brasil atau setara 22 juta orang mengalami kelaparan, tetapi angka itu menurun lebih dari setengahnya menjadi hanya 10 juta pada akhir masa jabatan Lula.
Program ini juga meningkatkan partisipasi anak-anak di sekolah karena mereka mendapat makanan bergizi, dengan porsi makanan tergantung pada kondisi ekonomi daerah.
Keberhasilan Lula diakui secara global. Pada 2010, ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pemberantasan Kelaparan oleh Badan Pangan PBB (WFP). Program Fome Zero menjadi model yang diadopsi di negara lain, terutama di Afrika, untuk mengatasi kelaparan dunia.
Laporan terbaru berdasarkan survei Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) RI ke Kota Rio de Janeiro, Brasil, pada 23 Juli, anggaran program makan siang ini melibatkan dana pusat dan negara bagian, dengan biaya per siswa sekitar BRL1,5 atau sekitar Rp4.400.
Sejumlah restoran dilibatkan untuk memproduksi 1.800 hingga 3.000 porsi makanan gratis untuk masyarakat miskin, lansia, dan penyandang disabilitas. Kemudian, untuk masyarakat umum lainnya dikenai biaya yang sangat terjangkau untuk satu porsi makanan. https://happyblog.id